Tag: minyak dan gas bumi

Menyoal Kebijakan Energi Indonesia : Agar Tak Jadi Bangsa Kuli

Menyoal Kebijakan Energi Indonesia : Agar Tak Jadi Bangsa Kuli

“Kami menggoyangkan langit, menggemparkan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita.” – Ir. Soekarno

 

Menyoal permasalahan pengelolaan energi di negeri ini memang tidak akan ada habisnya. Permasalahannya lengkap dari hulu hingga ke hilir. Di sektor hulu kita tentu paham bagaimana produksi minyak dan gas bumi negeri ini terus menurun. Tidak ditemukannya cadangan minyak baru juga menjadi persoalan pelik lainnya. Permasalahan di sektor hilir juga tak kalah peliknya. Dari permasalahan mafia penimbun minyak hingga tersendatnya distribusi bahan bakar menghiasai sederetan permasalaan energi nasional kita.

Banyak diskusi yang sudah digelar guna menemukan solusi terbaik atas setumpuk permasalahan tersebut. Tak jarang dalam diskusi tersebut juga disertai dengan rekomendasi solusi atau bahkan desakan kepada pemerintah untuk segera menyelesikan permasalahan yang terlah berlarut-larut itu. Dari diskusi-diskusi itu pula ribuan makalah ilmiah dihasilkan dan didistribusikan. Tapi toh tetap saja, pengelolaan energi kita kita berubah signifikan –jika tidak boleh dibilang tak berubah. Ada apa dengan negeri ini?

Mendudukan Masalah

Ketika kita membahas dan mengkaji tentang energi, fokus kita akan mengarah pada pengelolaan minyak dan gas bumi. Hal ini karena sampai saat ini, pasokan energi kita masih didominasi minyak dan gas bumi. Dari total kebutuhan energi primer Indonesia sekitar 700 juta setara barel minyak (sbm), 54,4 persen dipenuhi dari minyak dan 26,5 persen dari gas bumi. Jadi, lebih dari 80 persen kebutuhan energi nasional dipasok dari migas. Karenanya, kemelut energi nasional tidak dapat dipisahkan dari pengelolaan keduanya. [[1]]

Berbicara tentang energi juga kita akan selalu dihadirkan atas persoalan penguasaan asing terhadap sejumlah besar blok-blok minyak dan gas (migas) nusantara. Diskusi itu menjadi hangat dan menarik karena melibatkan emosi. Kata-kata emosional seperti “nasionalisme”, “kemandirian bangsa”, atau bahkan “penjajahan jilid 2” menjadi daya tarik untuk kita mengkaji lebih dalam. Tak salah memang, hanya saja diskusi yang terlalu banyak melibatkan emosi akan mengakibatkan solusi yang dihasilkan tidak tepat sasaran atau bahkan bisa kontraproduktif karena bisa tidak jernih dalam berpikir. Persoalan ini penting untuk dihadirkan agar kita tidak terdoktrinasi anti-asing. Yang kemudian hanya akan membuat kita kerdil dalam berpikir. Persoalan ini juga penting untuk diangkat agar tidak menjadi nasionalisme buta yang kemudian dijadikan tameng untuk mencap orang-orang yang tidak satu pemikiran sebagai pengkhianat bangsa ataupun sebaliknya. Termasuk mencap tidak nasionalis terhadap kawan-kawan kita yang berkerja di perusahaan asing. Untuk itu penting bagi kita untuk bisa mendudukan masalah seobjektif mungkin dan menempatkan diri kita pada posisi yang tepat dalam masalah tersebut.

Maka sebelum jauh melangkah penulis ingin mengajak pembaca memahami tentang risalah pengelolaan energi yang telah digagas oleh para pendiri bangsa ini dan kini telah dilegitimasi menjadi Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Dalam beberapa kesempatan ada perbedaan pandangan mengenai makna dikuasi negara. Maka penulis mengutip putusan MK berkaitan dengan makna tersebut.

Dalam Putusan MK terkait perkara judicial review terhadap UU Migas No.22 Tahun 2001, MK menafsirkan makna “dikuasai negara” sebagai berikut:

 

… pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsep kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat…’

 

 

Ada dua poin penting dalam pembahasan tersebut. Pertama, negara sebagai satu-satunya yang menguasai seluruh kekayaan alam di negeri ini. Itu artinya jika ada pihak-pihak yang berupaya untuk melemahkan, mengintervensi, atau bahkan mendikte kekuasaan tersebut jelas bertentangan dengan semangat undang-undang. Poin kedua, bahwa kekayaan tersebut adalah amanah yang diberikan rakyat untuk dikelola dam digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya, kekayaan tersebut harusnya dijadikan sebagai alat (tools) untuk memakmurkan rakyatnya bukan hanya dijadikan komoditas pasar yang orientasinya untung rugi semata. Ini sangat berbeda. Misalkan dalam rencana kenaikan harga BBM, dengan menggunakan logika pasar yang untung rugi maka pemerintah dengan mudah akan menaikkan harga tersebut tanpa mempedulikan nasib rakyatnya. Dimana hal tersebut jelas bertentangan dengan semangat untuk memakmurkan rakyat.

Poin penting lainnya dalam gagasan tersebut adalah prinsip-prinsip keadilan dalam pengelolaan energi yang ditujukan untuk mencapai kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Artinya, pengelolaan energi yang hanya menguntungkan sebagian kecil kelompok jelas bertentangan dengan UUD 1945 dan telah mengkhianati orang-orang yang mengorbankan nyawanya demi berdirinya republik ini.

Sekarang mari kita kaji lebih jauh tentang peranan asing dalam pengelolaan energi di Indonesia. Pengamat ekonomi Bung Ichsannudin Noorsi menegaskan, 95 persen sektor migas Indonesia dikuasai korporasi asing. PT Chevron asal AS menjadi salah satu penguasa terbesar migas di Indonesia yang mengambil porsi 44 persen. Selain Chevron, terdapat perusahaan asing yang ikut menikmati kekayaan alam Indonesia. Antara lain, Total E&P (10 persen), Conoco Phillips (8 persen), Medco Energy (6 persen), China National Offshore Oil Corporation (5 persen), China National Petroleum Corporations (2 persen), British Petroleum, Vico Indonesia, dan Kodeco Energy masing-masing satu persen. Sedangkan Pertamina, perusahaan BUMN hanya mendapatkan porsi 16 persen. [[2]]

Angka-angka di atas setidaknya memberikan kita gambaran bahwa peta pengelolaan energi kita masih sangat bergantung pada peran asing. Diskursus mengenai peran asing dan dampaknya bagi bangsa ini telah banyak diuraikan oleh para pegiat dan peneliti tentang kebijkana energi nasional. Dan dalam buku ini telah dijelaskan bagaimana kerugian negara yang diakibatkan atas “penguasaan” asing atas sejumlah besar blok-blok migas dan tambang dalam negeri.

Dalam buku “Kudeta Putih, Reformasi dan Pelembagaan Kepentingan Asing Dalam Ekonomi Indonesia”, Salamuddin Daeng dkk menyebutkan bahwa adanya campur tangan asing dalam pengelolaan energi dalam Indoensia. Itu terbukti dengan Letter of Inten (LoI) yang dikeluarkan IMF kepada Indonesia. Dalam hal ini penulis hanya ini mengemukakan sebuah pertanyaan : mengapa asing begitu ngotot dalam memcampuri urusan ini. Ada apa? Maka jelas ada keuntungan yang ingin didapatkan dari semua upaya tersebut. Dan tentu kita juga mahfum bahwa berapa ribu lembar dollar yang dikeruk dari bumi Indonesia ini setiap tahunnya. Dan penulis membayangkan jika dana tersebut digunakan untuk pembangunan di negeri ini. Sebagai gambaran mari kita lihat berapa besar kekayaan kita tersebut. Kita ambil contoh blok Mahakam. Pengamat energi, Marwan Batubara mengatakan bahwa cadangan yang tersisa blok Mahakam saat ini sekitar 12,5 tcf, dengan harga gas yang terus naik, blok Mahakam berpotensi pendapatan kotor US$ 187 miliar (12,5 x 1012 x 1000 Btu x $15/106 Btu) atau sekitar Rp 1700 triliun![[3]]

Di sinilah letak ironisnya bangsa ini. Dengan kekayaan sebesar itu ternyata masih banyak rakyat di negeri ini yang hidup di bawah garis kemiskinan. Jumlah penggangguran juga tak kalah banyaknya. Memang tidak ada korelasi secara langsung antara pengelolaan asing dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran. Tapi bisa kita jelaskan dengan gamblang bagaimana dampak positif yang dihasilkan jika uang-uang yang dibawa ke luar negeri oleh para meneer-meneer tersebut digunakan dalam rangka pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan anak-anak bangsa negeri ini. Bukannkah akan sangat positif? Maka tak perlu lagi kita berdebat soal ini.

Dalam pandangan penulis, memang tidak ada yang salah dengan adanya kerja sama dengan asing. Hal itu akan menjadi masalah manakala ada prinsip-prinsip keadilan yang dilanggar. Dan dalam skema kerja sama pengelolaan migas dalam negeri, negara terlalu banyak dirugikan. Lebih jauh lagi, negara seperti tidak berkuasa atas sumber dayanya sendiri dan terkesan didikte asing. Itulah mengapa jika penulis dan para aktivis negeri ini lantang bersuara untuk mengembalikan kedaulatan energi pada rakyat. Dan agar kita tak menjadi bangsa kuli di negeri sendiri. Itu saja!

Dan dalam setiap kesempatan diskusi sebuah pertanyaan besar mengemuka, “mampukah bangsa Indonesia mengelola sumber daya energinya sendiri?”

               Seperti yang telah dijelaskan dimuka bahwa segala upaya yang telah dilakukan tidak bedampak signifikan pada pengeleloaan energi kita. Rakyat sudah sangat membutuhkan negeri ini membaik. Oleh karena ini kita membutuhkan pemikiran, sikap, dan tindakan revolusioner. Dimana pemikiran ini harus bisa keluar dari pakem yang ada.

Bentuk Dewan Revolusi Energi Nasional!

Meskipun kita memiliki ribuan alasan logis untuk pesimis tapi selalu ada tempat untuk orang-orang yang optimis di negeri ini. Penulis memandang persoalan mampu atau tidak mampu adalah hanyalah masalah teknis. Dimana masalah teknis tersebut akan sangat bisa untuk direkayasa dan dicari jalan keluarnya. Permalasahan mendasar dari bangsa ini adalah adakah kemauan keras dari para pemimpin yang sedang mengggerakkan roda pemerintahan negeri ini untuk bisa mandiri, berjuang bersama untuk mensejahterakan rakyatnya. Hal ini karena penulis meyakini bahwa peran sentral dalam menenuntukan arah kebijakan bangsa ini –termasuk kebijakan energi di dalamnya- adalah para pemimpin bangsa ini. Dengan kata lain, pada mereka sekarang kita berharap lebih banyak.

Harus diakui bahwa kepemimpinan nasional saat ini sangat memprihantinkan. Hasil jajak pendapat Kompas yang diselenggarakan pekan lalu mengungkapkan pandangan 686 responden di 12 kota besar Indonesia tentang ketiadaan sosok pemimpin yang dianggap mampu mengatasi persoalan bangsa. Dari 10 responden, enam di antaranya tidak bisa menyebutkan nama tokoh pemimpin di masa kini yang dinilainya akan mampu menyelesaikan persoalan bangsa. Secara khusus, bahkan, sepertiga bagian responden menyatakan dengan lugas, tidak ada satu pun sosok yang bisa memimpin bangsa melewati berbagai hambatan saat ini ataupun di masa depan.

Ketiadaan sosok tersebut, menurut sebagian besar responden, ditunjukkan oleh indikator rendahnya kinerja para pemimpin dalam mengelola konflik ataupun menuntaskan sejumlah persoalan. Masalah korupsi para pejabat negara, misalnya, dikeluhkan 83,2 persen responden. Praktik penyalahgunaan kekuasaan itu terus terjadi secara masif meskipun dalam waktu bersamaan upaya pemberantasan korupsi sedang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi.[4]

Penulis menyadari kita bukan lagi di zaman Soekarno yang soekarno-sentris. Dimana peran soekarno bisa menentukan arah kemana bangsa ini barlayar. Kita jelas bukan di era itu sekarang. Kita sekarang berada dalam era demokrasi dimana keterbukaan menjadi penting. Penulis meyakini arah bangsa ini tidak dapat ditentukan oleh satu-dua orang. Tapi sekelomok pemimpin yang sudah mengakhiri masa dunianya untuk terjun bersama rakyat dan berjuang bersama. Artinya dalam

Untuk semua alasan di atas penulis memberikan sebuah pemikiran sederhana tentang bagaiamana memainkan anak-anak bangsa sebagai actor utama sebagai pengelola energi dalam energi dan bukan hanya sebagai kuli. Penulis mengangkat sebuah ide sederhana tentang pembentukan “Dewan Revolusi Energi Nasional” sebagai wadah bagi seluruh rakyat Indonesia yang peduli terhadap nasib energi bangsanya. Ini sekaligus menjadi bentuk kritik atas dibentuknya Dewan Energi Nasional yang diketuai Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang kinerjanya tak cukup memuaskan dan hanya jadi kepanjangan tangan dari pemerintahan saat ini.

Keberhasilan sejumlah beberapa kelompok aktivis dengan latar belakang berbeda dalam “membubarkan” BP Migas menginspirasi penulis terhadapa ide pembentukkan Dewan Revolusi Energi Nasional ini. Dari hal tersebut penulis meyakini bahwa apabila rakyat dari setiap elemen bangsa ini bersatu maka bukan tidak mungkin 10 hingga 20 tahun lagi kita akan mandiri energi. Dan Dewan Revolusi Energi Nasional akan selalu berada di garda terdepan dalam setiap upaya untuk menyelamatkan energi dalam negeri dan melestarikannya untuk masa depan anak cucuk kita.

Menjadikan Perguruan Tinggi Sebagai Leading Sector Pengelolaan Energi Nasional

               Upaya kedua adalah dengan menggeser paradigma dan peran perguruan tinggi terhadap pengelolaan energi nasional. Paragdigma sekarang yang berkembang adalah perguruan tinggi hanya dijadikan sebatas alat bantu dalam idustri maupun pengelolaan energi kita. Tak jarang sejumlah perguruan tinggi hanya mengerjakan projek “orderan” dari perusahaan asing. Hal demikian menjadikan perguruan tinggi tak dapat mengembangkan dirinya dengan baik.

Untuk itu harus diubah paradigm di atas. Dimana perguruan tinggi menjadi leading sector atas pengelolaan energi nasional. Perguruan tinggilah yang menentukan arah kebijakan energi nasional kita dengan memberikan panduan kerja kepada pemerintah dan swasta untuk menjalankan setiap rekomendasi yang dihasilkan. Dengan begitu kita perguruan tinggi dapat mengembangkan seluruh potensi anak bangsa untuk bisa menjadi actor utama dalam pengelolaan energi nasional dan tidak bergantung pada asing.

 

 

 Kepada Mahasiswa dan Seluruh Pemuda di Indonesia!

Tinggal hanya menunggu waktu kita akan mewarisi kepemimpinan nasional. Di tangan kitalah arah bangsa ini nanti ditentukan. Namun, kita tak harus menunggu saat itu tiba untuk kita dapat berkontribusi. Kita dapat berkontribusi sekarang apapun bentuknya dan bagaimanpun caranya. Kita bisa berkontribusi untuk bangsa ini sambil terus menyipakan diri untuk menjadi penentu arah kapal besar bernama Indonesia ini belayar.

Apapun background dan passion kita, aktivitas kampus, aktivis kepemudaaan, anak pejabat, anak petani, mahasiswa, apapun itu mari berjuang bersama-sama menuntaskan cita-cita para pendiri bangsa ini sampai mati. Karena setiap orang berhak untuk berjuang.

Selalu ada pemuda di setiap perubahan suatu bangsa. Dan semoga kita adalah bagian dari perubahan itu.

Dan terakhir penulis kembali mengutip pidato Soekarno,

“Kami menggoyangkan langit, menggemparkan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita.”